Menghadapi Saksi Yehuwa II (Penggunaan nama TUHAN di Alkitab)



Dalam suatu diskusi dengan Saksi-saksi Yehuwa, mereka mengkritik secara tidak langsung penggunanaan nama TUHAN di dalam terjemahan Alkitab LAI. Mereka beranggapan bahwa nama Yehuwa tidak boleh diubah, diganti atau diterjemahkan menjadi TUHAN. Karena itu mereka berkesimpulan bahwa penulisan nama TUHAN dalam Alkitab adalah kesalahan serius.

Contoh Mazmur 83:19
·         Alkitab LAI
“supaya mereka tahu bahwa Engkau sajalah yang bernama TUHAN, Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.”
·         Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru (milik Saksi Yehuwa, ayat 18)
“Agar mereka tahu bahwa engkau, yang bernama Yehuwa, engkau sajalah Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.”

Benarkah demikian? Bagaimana umat Kristen menjawab gugatan ini?

Begini saya menjawab mereka!

Saksi Yehuwa mengkritik penggunaan kata TUHAN dalam Alkitab, bagi mereka, nama TUHAN tidak boleh diubah, diganti dan diterjemahkan. Mari kita lihat apa yang mereka sendiri telah lakukan terhadap nama hwhy
1.      Saksi Yehuwa telah menerjemahkan nama hwhy. Menariknya yang mereka lakukan adalah penerjemahan huruf-perhuruf. y diterjemahkan Y atau J; h diterjemahkan H; w diterjemahkan W. sehingga sejatinya tertulis hwhy  menjadi Yehuwa. 
2.      Saksi Yehuwa telah mengubah nama hwhy dengan menambahkan huruf vokal pada nama itu. Nama hwhy hanya terdiri dari empat huruf karena itu sering disebut tetragramaton (artinya empat huruf). Dalam teks Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru nama hwhy yang terdiri dari empat huruf mengalami perubahan menjadi Yehuwa yang terdiri dari enam huruf.
3.      Saksi Yehuwa sekali lagi telah melakukan pengubahan nama hwhy dengan mengubah arah penulisan nama. hwhy ditulis dari kanan kiri sedangkan Yehuwa ditulis dari kiri ke kanan.
4.      Saksi Yehuwa telah menghilangkan nama hwhy dari kitab suci mereka dan menggantinya dengan Yahuwa.

Jika saksi Yehuwa ingin konsisten dengan kritik mereka terhadap Alkitab terjemahan LAI, seharusnya dalam Mazmur 83:18 Terjemahan Dunia Baru tertulis demikian:
Agar mereka tahu bahwa engkau, yang bernama hwhy, engkau sajalah Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.”     
Dalam diskusi dengan mereka saya meminta mereka untuk mengganti Yehuwa dalam Kitab Suci Terjemahan Dunia Baru dengan hwhy. Hehehehehe

Apa yang saya pahami sebagai orang Kristen ketika membaca Alkitab yang memuat nama TUHAN?

Saya menyadari bahwa TUHAN adalah terjemahan dari hwhyKendatipun kata “TUHAN” adalah terjemahan, tetapi kata ini merujuk pada Pribadi yang disebut hwhy.
Saya menghormati dan mengagumi serta menyanjung Pribadi tersebut seperti yang dilakukan para Nabi dan Para Rasul. Saya mempercayai dan menyerahkan hidup saya ke dalam pemeliharaan Pribadi ini yang di dalam Alkitab terjemahan LAI ditulis TUHAN dan dalam bahasa Ibrani disebut hwhy.   

Apakah nama hwhy tidak boleh diterjemahkan? Apakah dasarnya?
·         Saksi Yehuwa menggunakan Matius 6:9 dan Yohanes 12:28 sebagai dasar bahwa nama itu tidak boleh diganti atau pun diterjemahkan menjadi TUHAN.
·         Matius 6:9 dalam Kitab Suci TDB berbunyi, “Bapak kami yang di surga, biarlah namamu disucikan”; Yohanes 12:28 dalam TDB ditulis, “Bapak, muliakanlah namamu”;  Apakah ayat ini menunjukkan bahwa nama hwhy tidak boleh diterjemahkan?
·         Ayat-ayat ini tidak menyatakan bahwa nama hwhy tidak boleh diterjemahkan. Ayat-ayat ini merupakan doa permohonan kepada Allah, supaya Ia menyatakan kekudusanNya dan kemulianNya kepada dunia, agar semua semua manusia mengenal dan menghormatinya dengan beribadat dan taat kepadaNya.

Simak penjelasan Lembaga Alkitab Indonesia, perihal penggunaan nama Allah dan TUHAN  di dalam Alkitab, berikut ini


Sekian. TUHAN memberkati

INGIN BERHIKMAT? (Amsal 1)


Apakah saudara adalah orang yang berhikmat? Awalah ber- pada kata berhikmat berarti ”mempunyai.” Jadi pertanyaannya juga bisa, Apakah saudara adalah seorang yang mempunyai hikmat?
            Ketika menjawab pertanyaan ini kita mungkin bisa dianggap geer, karena kita menjawab ’Iya! Saya orang berhikmat’. Tetapi mungkin juga kita sedikit minder dan menjawab, ’Tidak! atau Belum berhikmat.’
            Suatu perkataan yang mendefinisikan siapa orang berhikmat demikian, ”Orang berhikmat akan juga belajar dari pengalaman orang-orang lain. Orang biasa hanya belajar dari pengalamannya sendiri. Orang bodoh tidak belajar dari pengalaman siapa pun.“
            Kalau melihat definisi atau penjabaran tentang orang berhikmat dari perkataan ini, saya rasa kita sudah bisa mengetahui apakah diri kita adalah orang berhikmat atau tidak. Saya orang berhikmat, jika saya belajar juga dari pengalaman orang lain bukan hanya pengalaman saya sendiri. Dan saya belum dan tidak berhikmat jika saya hanya belajar dari pengalaman saya sendiri atau tidak belajar dari pengalaman sama sekali.

Hikmat adalah kemampuan hidup dengan Baik
Poinnya adalah apakah hikmat seseorang hanya diukur dari responnya terhadap pengalaman-nya? Bagaimana dengan responnya terhadap apa yang terjadi saat ini, atau responnya terhadap apa yang mungkin akan terjadi kemudian di masa depan?
Kitab Amsal menolong kita untuk tahu lebih banyak tentang hikmat. Di ayat 1&2 ditulis, ”Amsal-amsal Salomo bin Daud, raja Israel, untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna.” Salomo menuliskan amsal-amsal untuk menolong orang lain mengetahui hikmat dan menjadi orang yang berhikmat itu.
Tujuan Salomo ini ditekankan berulang-ulang dalam gaya paralelisme. Penulisan seperti ini sekaligus memperlihatkan kepada kita aspek-aspek dari hikmat itu.
Ayat 2-6 sesungguhnya hanya menekankan satu hal, yaitu bahwa Salomo menuliskan amsal-amsalnya supaya pembacanya memiliki hikmat. Jika ayat ini saya tulis dengan penataan berbeda kita akan melihat gambaran tujuan itu:
untuk    mengetahui       hikmat dan didikan,
untuk    mengerti            kata-kata yang bermakna,
untuk    menerima          didikan yang menjadikan pandai,
serta kebenaran, keadilan dan kejujuran,
untuk    memberikan      kecerdasan kepada orang yang tak berpengalaman, dan
pengetahuan serta kebijaksanaan kepada orang muda
-- baiklah orang bijak mendengar dan menambah ilmu dan baiklah orang yang berpengertian memperoleh bahan pertimbangan--
untuk    mengerti            amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak.   
Salomo ingin pembacanya memiliki hikmat. Memiliki berarti mengetahui, mengerti dan menerima hikmat itu. Apa hikmat itu? Hikmat itu adalah didikan, kata-kata-kata bermakna, kepandaian, kemampuan untuk bersikap benar, adil dan jujur, kecerdasan, pengetahuan, kebijaksanaan, kemampuan mencerna produk orang bijak (amsal, ibarat, perkataan dan teka-teki). Bahkan jika kita melihat di bagian lain Alkitab, hikmat juga termasuk, kemampuan membuat pakaian, ahli bangunan, tukang emas, pelaut/nelayan.
Untuk apa memiliki hikmat? Amsal 2 menyatakan, supaya terpelihara, tidak salah jalan atau berdosa, hidup dengan baik. Saya setuju dengan salah satu penafsir mengatakan bahwa hikmat sesungguhnya adalah kemampuan untuk hidup dengan baik yang didapat melalui belajar dengan sungguh-sungguh. Seorang anak kecil yang belajar berjalan, sering kali ia jatuh. Ia lalu bangkit lagi. Jatuh lagi. Coba lagi. Sampai suatu waktu ia mampu berjalan. Ia memiliki hikmat untuk berjalan. Seorang anak kelas tiga berusaha memahami pelajaran matematikanya. Ia baca bukunya. Ia latih soal-soal yang ada. Ia bertanya kepada teman dan gurunya. Sampai waktu ujian tiba, ia mampu melewatinya. Ia mempunyai hikmat dalam pelajaran matematikannya. Saya ingat waktu kuliah saya di Teknik Elektro. Kami ditugaskan membuat robot pencari cahaya. Saya pelajari dasar-dasarnya, saya lakukan penghitungan. Saya coba rancang rangkaiannya. Saya beli komponen Elektronik yang diperlukan. Sampai akhirnya saya bisa mampu menyelesaikan tugas itu, saya mempunyai hikmat membuat robot itu. Seorang yang ingin bekerja, akan berusaha melamar pekerjaan, jika sudah diterima, ia akan belajar menguasai pekerjaannya, bekerja dengan loyal, jujur dan bertanggung jawab. Ia pun menjadi seorang yang berhikmat dalam pekerjaannya.

Refleksi
            Apakah saudara seorang yang berhikmat? Seorang anak yang berhikmat adalah anak yang menerima didikan orangtuanya. Orangtua yang berhikmat adalah orangtua bertanggung jawab dan dapat diteladani. Pelajar yang berhikmat adalah pelajar yang mengerti pelajaran gurunya. Pekerja yang berhikmat adalah pekerja yang jujur, berintegritas. Pemimpin yang berhikmat adalah pemimpin yang benar, adil dan penuh pertimbangan. Apakah saudara seorang yang berhikmat?


Mencintai Taurat Tuhan (2Tim. 3:10-17)


Pendahuluan
            Dalam kisah pewayangan Mahabaratha dikenal lakon bernama Dewi Retno Savitri. Meskipun kisahnya singkat dalam rangkaian panjang kisah Mahabaratha, namun cukup menggambarkan kualitas sebuah cinta.
            Dewi Retno Savitri adalah anak seorang raja bernama Prabu Aswapati di negeri Madra. Savitri menikah dengan Bambang Setiawan, putra dari seorang Brahmanaraja yang bernama Jumatsena yang tinggal di hutan pertapaan. Karena cintanya, Savitri memutuskan menikah meski ia tahu bahwa hidup Setiawan hanya tinggal setahun lagi.
            Savitri meninggalkan kehidupan istana dan tinggal di sekitar hutan pertapaan bersama suami yang dicintainya. Ia selalu menyenangkan suaminya dengan perkataan manis, pelayanan serta kesetiaannya yang luar biasa. Meski Ia bahagia bersama Setiawan, Savitri menyimpan kegundahan karena ajal suaminya yang setiap hari semakin mendekat dan hal itu membuat tubuhnya secara fisik menjadi susut.
            Singkat cerita pada hari kematian sang suami, datanglah Dewa Maut Yamadipati, bertampang bengis, mengambil nyawa suaminya. Savitri sudah mengucapkan janji bahwa Ia akan pergi kemana suaminya pergi. Karena itu ia mengikuti dewa maut yang membawa nyawa suaminya pergi.
            Waktu demi waktu berlalu, tempat demi tempat dilalui. Savitri terus mengikuti dewa maut itu dengan kelelahan dan kesulitan, tetapi ia tetap berjalan karena cintanya kepada suaminya. Selama perjalanan, beberapa kali tercipta pembicaraan antara dewa Maut dan Savitri. Dalam pembicaraan-pembicaraan itu jelaslah bagi dewa maut bahwa Savitri sangat mencintai suaminya dan berkomitmen setia kepadanya. Hal ini ia dapati berbeda dengan isterinya yang berselingkuh dengan pria lain dan meninggalkannya
            Karena itu, Yamadipati sang Dewa maut berkenan mengembalikan nyawa Setiawan kepada Savitri. Mereka juga diberi hidup 100 tahun dan dikarunia 100 orang anak.
            Itulah kisah singkat Dewi Retno Savitri yang karena cintanya ia rela melewati berbagai penderitaan dan akhirnya mendapatkan hal-hal yang baik sebagai buah dari cintanya itu.

            Hari ini kita belajar juga tentang cinta, tetapi bukan cinta kepada pria/wanita, melainkan cinta kepada firman Tuhan. Senada dengan kisah Savitri, cinta itu teruji melalui penderitaan, namun menghasilkan buah manis dalam kehidupan. Kita akan belajar bahwa Cinta akan firman teruji oleh penderitaan namun cinta akan firman itu juga mengubah hidup kearah yang baik. Itulah Paradoks Cinta.

Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: