Berdamai dengan Penderitaan (Ayub 1:1-5; 13-22; 2:7-10)

Ketika kita membaca kisah Ayub, mungkin kita merasa bahwa kisah ini adalah kisah yang terlalu dilebih-lebihkan. Kita menganggap bahwa kisah Ayub tidak mungkin sungguh-sungguh terjadi. Bagaimana mungkin seorang yang memiliki keluarga dan harta yang banyak dapat kehilangan semua itu bersamaan dalam sehari? Suatu fakta yang mungkin bagi kita sulit diterima dan sulit dilihat padanannya pada masa kini. Tetapi sesungguhnya, beberapa kisah pilu mirip pengalaman Ayub terjadi juga di masa kini.
            Di Cimahi 2010 lalu, terjadi perampokan sebuah toko besi. Para perampok bukan hanya mengambil uang sang pemilik toko, tetapi juga ambil nyawa sang pemilik. Tiga orang meninggal pada perampokan itu: Bapak Karnadi, isterinya dan anaknya yang bernama Rudi (http://www.tempo.co/read/news/2010/08/26/178274306/Motif-Perampokan-Cimahi-Diduga-Dendam-Campur-Ekonomi).
            Kisah yang hampir sama pernah terjadi di Probolinggo-Jawa Timur. Terjadi perampokan yang kembali menghabisi bukan hanya harta tetapi juga nyawa para korban. Pada perampokan di Probolinggo ini keluarga yang dibantai berjumlah empat orang (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/02/21/137578/Perampok-Sadis-Habisi-Empat-Korban).
            Jadi perampok-perampok itu tidak lagi bertanya minta serahkan harta atau nyawa, tetapi serahkan harta dan nyawa.

Penderitaan dialami oleh orang Percaya
            Salah satu poin yang sangat menarik dari kisah Ayub adalah karena musibah atau penderitaan berat ini menimpa seorang yang sangat mencintai Tuhan, seorang yang meninggikan Tuhan dalam hidupnya.
            Ayub 1:1 menyatakan ”Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” Ayub 1:5 menyatakan bahwa Ayub juga berupaya menguduskan keluarganya. Setiap kali anak-anaknya usai pesta, ia menguduskan mereka. Tiap pagi Ayub mempersembahkan kurban bakaran sebanyak anak-anaknya. Dan perhatikan kalimat terakhir ayat ini, “ Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa.” Kata “senantiasa” menunjukkan sikap taat yang konsisten, bukan musiman. Ayub konsisten menjaga anak-anaknya dari dosa.
             Seorang yang mengasihi Tuhan, saleh, jujur, menjauhi kejahatan dan konsisten menjaga anak-anaknya dari dosa, justru mengalami penderitaan yang begitu rupa.
            Seorang misionaris bernama Hudson Taylor. Hudson sejak umur 5 tahun sudah berkeinginan suatu saat menyerahkan hidupnya sebagai seorang misionaris. Ketika dewasa itu benar-benar terjadi. Ia menjadi seorang misionaris yang melayani di China. 
            Apakah komitmennya untuk Tuhan membuatnya jauh dari penderitaan? Jawabannya, Tidak! Justru karena komitmen dan panggilan sebagai misionaris, membuatnya pernah ditolak oleh wanita yang ia cintai. Meski akhirnya ia menikahi seorang gadis bernama Maria. Penderitaannya tidak berhenti. Rumahnya di China dirusak dan dibakar. Dalam kurun waktu setahun, ia kehilangan anaknya yang berumur 5 tahun, putranya yang baru berumur 2 minggu, dan tidak lama kemudian isterinya, Maria juga meninggal. Penderitaan bertubi-tubi dialami oleh seorang yang menyerahkan hidupnya untuk pekerjaan Tuhan.
            Ketika kita merenungkan kebenaran ini, kita diingatkan bahwa orang Kristen tidak kebal penderitaan. Kita mungkin saja mengalami penderitaan dalam hidup ini. Jadi janganlah kita menganggap ketika kita percaya pada Tuhan, jadi pengurus di persekutuan, menjadi pendeta atau penginjil, maka kita orang yang tidak mungkin lagi mengalami masalah, penderitaan dan pergumulan dalam hidup.
             
Berdamai dengan Penderitaan
            Terbuka terhadap penderitaan bukan berarti mencari-cari penderitaan, masalah dan pergumulan. Kisah Ayub mengajarkan kita untuk terbuka akan adanya penderitaan dalam hidup orang percaya, tetapi kisah Ayub tidak mendorong kita cari-cari alasan supaya menderita.
            Ketika Ayub mengalami kehilangan yang bertub-tubi, ketekunan Ayub dalam penderitaan sangat menonjol. Ia begitu kuat menghadapi penderitaan yang ia alami. Apa rahasianya?

Pemimpin yang Berdedikasi (Markus 12:41-44)


Dedikasi dapat didefinisikan sebagai suatu persembahan atau sesuatu yang dilakukan untuk tujuan suci dan bersifat pengorbanan. Dengan demikian, dedikasi seorang pemimpin di hadapan Allah dapat dilihat dari apa yang ia persembahkan atau korbankan untuk Allahnya. Kisah janda miskin yang memberi persembahan ini, memberikan pencerahan dan teladan kepada pemimpin Kristen masa kini dalam menunjukkan dedikasinya.
Markus mengemukakan beberapa fakta mengenai kondisi janda ini. Markus dengan sengaja menuliskan kisah janda ini tepat setelah kisah ahli Taurat yang merampas rumah para janda (ay. 38-40). Markus sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa janda yang memberi persembahan tersebut tidak lain adalah salah satu janda yang sebelumnya mengalami perlakuan tidak buruk (rumahnya dirampas) oleh para ahli Taurat. Selain itu, ia juga seorang janda yang sangat miskin.  Markus menggunakan kata ”ptōkhos” untuk menggambarkan kemiskinannya. Kata ini secara literal bermakna bahwa janda ini tidak mempunyai apa-apa dan sangat rentan dengan kelaparan. Ia orang miskin yang jika tidak ditolong akan menderita.
Sungguh mengejutkan apa yang dilakukan oleh janda ini: ia memberikan persembahan. Persembahan yang dikumpulkan di Bait Suci, dimaksudkan membiayai dua keperluan: keperluan Bait Suci dan untuk membantu para janda dan yatim piatu. Dalam kekurangannya, janda ini masih juga memikirkan untuk memberi persembahan bagi keperluan Bait Suci dan sesama orang miskin. Ia tetap memberi persembahan ketika mengalami ketidakadilan dan penindasan dari Ahli Taurat – pelayan Bait Allah. Ia memberi ketika miliknya diambil. Ia memberi apa yang masih ada padanya, bahkan semua yang masih ada padanya. Ia memberi persembahan itu ketika seharusnya ia yang menerima persembahan. Inilah sebuah dedikasi yang berkenan kepada Allah.
Dedikasi sang janda juga dinyatakan dalam pengorbanannya ketika memasukkan dua peser persembahannya. Markus sengaja menyebut mata uang “peser” dan “duit” untuk menunjukkan bahwa persembahan janda itu adalah persembahan paling kecil yang dapat dipersembahkan oleh orang pada waktu itu.  Peser adalah mata uang tembaga Yahudi yang paling kecil, sedangkan Duit adalah mata uang Yunani terkecil.
Mengapa Yesus memuji janda yang memberi persembahan terkecil ini?  Yesus memujinya karena janda ini memberikan persembahan yang kecil tetapi dengan pengorbanan yang besar.
Orang-orang kaya memberi jumlah uang yang lebih banyak tetapi tidak ada semangat pengorbanan di dalamnya. Mereka “memberi dari kelimpahannya,” artinya tidak ada yang dikorbankan bersama dengan persembahan mereka. Sedangkan janda ini “memberi dari kekurangannya.” Artinya ia memberi meski ia tahu tidak akan ada lagi yang tersisa padanya. Janda ini mengorbankan nafkah yang dapat ia nikmati hari itu untuk suatu persembahan. Ia korbankan nafkahnya demi pemeliharaan bait Allah dan demi menopang sesama orang yang berkekurangan lainnya. Inilah dedikasi sejati: hidup yang dikurbankan untuk pelayanan bagi Allah dan sesama. Suatu dedikasi yang terlihat jelas dalam pengorbanan.
Pemimpin yang berdedikasi adalah pemimpin yang tetap mengabdi kendati hidupnya dalam berbagai pergumulan. Dan pemimpin yang berdedikasi adalah pemimpin yang mengabdi dengan semangat pengorbanan.

Pertanyaan Refleksi:
1.      Bagaimana pergumulan seringkali menyurutkan dedikasi pemimpin?
2.   Masihkah semangat pengorbanan dimiliki oleh para pemimpin bangsa? Apakah pemimpin masa kini memilih mengorbankan diri demi dedikasinya atau memilih mengorbankan dedikasinya demi kepentingan diri?
3.   Apakah saya seorang yang berdedikasi, yang tetap mengabdi di tengah-tengah pergumulan dan mengabdi dengan semangat pengorbanan?

(dimuat dalam buku Acara KKRJB 2011 kolom saat teduh)


Pemimpin yang Bervisi (Nehemia 1:1-4, Kisah Para Rasul 26:12-20)


             Suatu hal yang umum diterima bahwa seorang pemimpin harus mempunyai visi. Bill Hybels, dalam bukunya Kepemimpinan yang Berani, menyatakan bahwa visi adalah inti kepemimpinan. Visi adalah ’bahan bakar’ seorang pemimpin. Tanpa visi, pemimpin mati. Sendjaya mengatakan, ”Pemimpin tanpa visi sama sekali tidak dapat disebut pemimpin, sedangkan pemimpin yang memiliki suatu visi adalah pemimpin yang berbahaya, karena ia berpotensi mempengaruhi dunia.” Meski konsep ’pemimpin harus memiliki visi’ umum diterima, namun hal yang umum juga dialami bahwa seseorang yang belajar memimpin mengalami kebingungan menemukan visinya.
        Hari ini kita belajar dari dua pemimpin besar di dalam Alkitab. Mereka adalah Nehemia dan Paulus. Nehemia dan Paulus adalah pemimpin-pemimpin yang bervisi. Namun menariknya, mereka menemukan visi mereka dengan cara yang berbeda.
     Nehemia menemukan visinya ketika ia mendengar kabar tentang orang-orang Yahudi dan tentang Yerusalem dari Hanani (Neh. 2:2-3). Kabar dari Hanani menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi ada dalam kesukaran besar dan tercela. Sedangkan tembok Yerusalem dan pintu gerbangnya telah terbakar.
      Berita ini membuat Nehemia begitu prihatin (Neh. 2:4). Ia menangis, berkabung berpuasa dan berdoa. Dan pada kisah Nehemia selanjutnya, kita dapat melihat bahwa keprihatinannya ini mendorongnya untuk melakukan tindakan konkret, terencana dan berkesinambungan untuk membangun kota Yerusalem dan memulihkan kehidupan orang Yahudi.
      Nehemia menemukan visinya dari realita yang terjadi di bangsanya. Realita ini menimbulkan keprihatinan yang dalam bagi Nehemia. Keprihatinan tersebut mendorongnya melakukan tindakan yang konkret, terencana dan berkesinambungan bagi bangsanya. Inilah proses lahirnya visi bagi Nehemia.
     Cara Paulus menemukan visinya untuk pertama kalinya berbeda dengan Nehemia. Visi kepemimpinan Paulus ditemukannya dari perkataan Yesus kepadanya dalam perjalanannya ke Damsyik. Dalam perjalanan Paulus ke Damsyik untuk menangkap dan membunuh orang percaya, ia berjumpa dengan Yesus (Kis. 26:12-15). Perjumpaan dengan Yesus ini bukan hanya menjadi momen pertobatan Paulus, tetapi juga momen di mana ia menemukan visi kepemimpinannya.
      Paulus diberikan visi untuk menjadi pelayan dan saksi Kristus (Kis. 26:16-18). Paulus dikhususkan untuk menjadi pemberita Injil bagi bangsa Yahudi dan non-Yahudi. Untuk visi inilah Paulus mengabdikan hidupnya. Ia taat kepada visi tersebut. Ia memberitakan injil kepada orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem, di seluruh Yehuda, dan juga kepada bangsa-bangsa lain (Kis. 26:19-20). 
      Paulus menemukan visi hidupnya dari perkataan Yesus kepadanya dalam perjalanannya ke Damsyik. Perkataan Yesus ini mendorong Paulus untuk melakukan tindakan konkret, terencana dan berkesinambungan untuk mewujudkan visi tersebut. Inilah proses lahirnya visi bagi Paulus.
     Kisah Nehemia dan Paulus memberikan gambaran utuh kepada kita tentang bagaimana kita dapat menemukan visi hidup atau visi kepemimpinan kita. Visi itu dapat dinyatakan melalui firman Allah yang kita baca dan melalui realita yang terjadi di sekitar kita.
       Visi dapat dinyatakan kepada pemimpin melalui pergumulannya dengan firman Allah (look to God) dan melalui keprihatinannya terhadap realita di sekitarnya (look around). Seorang yang mengabaikan firman Allah dan mengabaikan sekitarnya tidak akan pernah sampai kepada visinya.

Pertanyaan refleksi pribadi:
1.      Apakah saya paham visi Allah untuk saya kerjakan?
2.      Bagaimanakah keseriusan saya bergumul dengan firman Allah selama ini?
3.   Bagaimanakah saya dapat menunjukkan kepedulian saya bagi lingkungan di sekitar saya (keluarga, kampus, kota, bangsa)?
4.      Persoalan utama seorang Kristen sulit menemukan visinya adalah karena pengabaian akan Firman Allah dan pengabaian akan realita sekitarnya. Rancangkan langkah praktis untuk dilakukan demi menunjukkan keseriusan bergumul dengan firman Allah dan kepedulian terhadap realita di sekitar!

(dimuat dalam buku Acara KKRJB 2011 kolom saat teduh)

Pemimpin yang Taat (1 Samuel 15:1-23)


Pemimpin yang berkenan kepada Allah adalah pemimpin yang taat. Kualitas seorang pemimpin di mata Allah ditentukan bukan oleh keberhasilannya melakukan hal-hal besar, tetapi oleh ketaatannya melakukan hal-hal apa pun yang Allah kehendaki. Penolakan Allah atas kepemimpinan Saul bukan karena Saul tidak pernah mencapai hasil gemilang selama kepemimpinannya. Penolakan Allah atasnya semata-mata karena Saul tidak taat kepada perintah Allah.
            Perintah Allah kepada Saul dinyatakan dengan sangat jelas, ”Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai” (ay. 3). Sejelas perintah Allah kepadanya, sejelas itu pula Saul bersama rakyat melanggar perintah itu, ”tidak mau mereka menumpas semuanya itu” (ay. 9).          
Apakah motif ketidaktaatan Saul? Saul tidak taat kepada perintah Allah karena ia mencari kemuliaan bagi dirinya sendiri. Pencarian akan kemuliaan diri tercermin dari tindakannya mengambil rampasan dari peperangan melawan Amalek (ay. 8-9). Pada masa itu, seorang raja yang menang perang akan dikagumi karena kualitas rampasan perang yang ia bawa. Saul yakin dengan membawa raja Agag dan ternak terbaik, ia akan dipuji dan disanjung oleh umat Israel dan bahkan oleh bangsa-bangsa sekitarnya.
Pencarian kemuliaan diri juga ditunjukkan oleh Saul dengan mendirikan baginya suatu tanda peringatan di Karmel (ay. 12: NIV, a monument in his own honor). Monumen peringatan ini jelas menonjolkan keberhasilan Saul dalam peperangan melawan Amaleh. Alih-alih memberikan kemuliaan bagi Allah dengan menaati perintah-Nya dan mendirikan monumen untuk memuliakan Allah, Saul mencari kemuliaan diri dengan melanggar titah Allah dan mendirikan monumen untuk kemuliaannya sendiri.
            Selain itu, ketidaktaatan Saul pada perintah Allah juga dilatari oleh karena ia lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah (ay. 24). Mengapa ternak orang Amalek tidak dimusnahkan semuanya? Karena Saul takut kepada rakyat yang menghendaki ternak tersebut dibawa sebagai rampasan untuk dipersembahkan kepada Allah. Saul lebih memilih untuk taat kepada kehendak manusia, ketimbang kehendak Allah. Ia lebih memilih memenuhi tuntutan manusia daripada tuntutan Allah.
            Saul lupa bahwa TUHAN-lah yang telah mengangkatnya menjadi raja atas Israel. Saul gagal menyadari bahwa tampuk kepemimpinannya ada di tangan Allah dan bukan di tangan rakyat. Karena itu, ia korbankan ketaatan demi jabatan.
            Sikap Allah terhadap ketidaktaatan Saul dinyatakan dengan gamblang di sini. Allah menyesali kepemimpinan Saul (ay. 11). Allah menolak kepemimpinan Saul (ay. 23,26). Dan pada akhirnya Allah mengoyakkan jabatan raja dari Saul (ay. 28). Kepemimpinan Saul dicabut Allah karena ketidaktaatannya.
            Ketaatan adalah satu-satunya syarat seorang pemimpin berkenan kepada Allah. Bahkan ketaatan adalah satu-satunya keinginan Allah dari manusia. Umat manusia dimurkai Allah karena ketidaktaatan Adam, sebaliknya umat Allah dibenarkan karena ketaatan Kristus. Para pemimpin Kristen masa kini dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus di dalam ketaatan.  
             

Pertanyaan refleksi:
1.      Bagaimanakah pencarian kemuliaan diri telah menggerogoti ketaatan dari para pemimpin bangsa ini kepada Tuhan?
2.      Mengapa para pemimpin cenderung lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah?
3.      Apakah kehendak atau perintah Allah yang masih saya abaikan sampai hari ini? Mungkinkah pencarian kemuliaan diri ataupun ketakutan kepada manusia membuat saya tidak menaati kehendak Allah itu?

(dimuat dalam buku Acara KKRJB 2011 kolom saat teduh)

Menghadapi Saksi Yehuwa (1Tim. 1:3-7; 4:1-5)


Pendahuluan
                Siapakah di antara kita yang bisa menjamin bahwa orang yang ada disamping kita, yang beribadah saat ini, akan tetap setia di dalam iman mereka sampai akhir hayat? Atau siapa yang bisa menjamin bahwa anak-anak kita akan mewarisi dan memegang teguh iman kepada Kristus, mengasihi Tuhan dan Juruslamatnya Yesus Kristus? Bahkan siapa yang bisa menjamin dirinya sendiri akan tetap setia dalam iman sampai akhir hidupnya atau kedatangan Kristus yang kedua?
                Saya pernah ada pada satu titik persimpangan iman. Saya pernah berada pada satu pergumulan yang mempertanyakan iman Kristen saya. Apakah saya harus tetap meyakini iman ini atau meninggalkannya. Itu terjadi di Surabaya, kira-kira di tahun 2003, setahun setelah pertobatan saya dari kekristenan tanpa pertobatan (KTP). setahun setelah saya bertobat, saya dikunjungi oleh dua orang tamu tak diundang yang mengaku Kristen. Kami berdiskusi seminggu sekali selama kira-kira 3 bulanan.
Salah satu topik yang kami diskusikan adalah apakah Yesus benar-benar Allah. Saya yakin dan kokoh dengan itu, tetapi mereka mengatakan Yesus bukan Allah. Dia kasih saya buku, saya juga kasih dia buku. Di suatu hari, sebelum mereka pulang, mereka kasih satu PR.  “vic, kamu kan yakin Yesus itu Allah yang Mahakuasa. Kalau Ia Allah maka Ia tidak diciptakan, bukan?. Coba buka Amsal 8:22, ‘Tuhan telah menciptakan aku (konteksnya merujuk pada hikmat) sebagai permulaan dari pekerjaan-Nya …’ skarang coba buka 1 Korintus 1:24, ‘Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.’ Bagian ini jelas menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah hikmat Allah dan Ia diciptakan. Bagaimana menurut kamu? Kita ketemu minggu depan!”
Ketidakpahaman saya ttg dua ayat ini membuat saya berada dipersimpangan  iman saya. Apakah Yesus benar Allah yang Mahakuasa seperti yang diajarkan oleh guru sekolah minggu dan pendeta? Saya baca lagi Alkitab, baca buku-buku Rohani dan bertanya ke kakak pembimbing di persekutuan. 
                siapakah tamu-tamu ini? Merekalah saksi Yehuwa/Yehovah.
               
Ada ajaran sesat di sekitar jemaat
                Saya tidak tahu apakah saudara pernah dikunjungi oleh saksi-saksi Yehovah. tetapi dalam waktu kurang dari dua tahun ini saya pindah ke bandung. Sudah tiga kali rumah saya dikunjungi oleh saksi Yehovah. saya sudah punya salah satu no hp penyiar ajaran mereka. Saya melayani di PMK 3 Univ. Parahyangan. Salah satu adik bimbingan saya mengatakan bahwa ia satu kos dengan saksi Yehovah. Ketika pelayanan di Jatinangor, Univ. Padjajaran. Adik-adik pelayanan di sana mengatakan bahwa salah satu tantangan mereka di sana adalah keberadaan saksi Yehovah. Di Bandung mereka mempunyai satu tempat pertemuan yang mereka sebut BALAI KERAJAAN SAKSI-SAKSI YEHUWA di, tepatnya di Jl. Dr. Rubini No. 1.
                Kalau melihat konteks lebih luas, keberadaan SY di Indonesia, terungkap dalam LAPORAN TAHUNAN mereka untuk tahun 2012.
Jumlah
Penduduk
Indonesia
Hadirin Peringatan
Rata-rata Penyiar
2011
Jumlah yang dibaptis 2011
Jumlah Sidang
2011
Pemahaman Alkitab Rumah
237.600.000
52.945
22.296
840
374
26.836
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa SY ada di sekitar kita. Mereka mencoba menyebarkan pengajaran mereka.
                SY dirintis oleh Charles Taze Russel (1852-1916). SY memulai kegiatan mereka di Indonesia pada 1931 oleh perintis SY dari Australia. Pada Mei 1968, mereka diterima secara resmi dan diperkenankan beroperasi di seluruh wilayah RI, berdasarkan surat keputusan Depag RI. Baru setahun sejak disahkan SY sudah menimbulkan masalah. Akibatnya pada 7 Desember 1976 Jaksa Agung mengeluarkan surat keputusan dengan nomor Kep. 129/JA/12/1976 yang melarang kegiatan SY karena alasan pelanggaran hukum, menentang kebijakan politik dan mengganggu kerukunan beragama.
                Pada tahun 2001 di bawah pemerintahan Presiden Abdurachman Wahid pintu untuk SY terbuka lagi. Setelah mengadakan pendekatan dengan pemerintah, maka SY kembali bebas beraktivitas. Pada 1 Juni 2001, Marzuki Darusman, jaksa agung waktu itu, mengeluarkan surat keputusan Jaksa Agung RI nomor: Kep.255/A/JA/06/2001 tentang pencabutan pelarangan aliran SY. Dasar pertimbangan pencabutan ini adalah prinsip-prinsip demokrasi. Sejak hari itu, SY lebih leluasa lagi menyebarkan ajarannya.
Keberadaan ajaran sesat disekitar jemaat Kristen, bukan baru ada saat ini. Sepanjang sejarah Kekristenan, penyesatan ada. Khususnya pada jemaat Efesus, dimana Timotius melayani.  Di 1Tim. 1:3 ditulis, “ … aku mendesak engkau supaya tinggal di Efesus dan menasihatkan orang-orang tertentu, agar mereka jangan mengajarkan AJARAN LAIN …” Ajaran lain itulah ajaran sesat.
Dalam Mat. 24:11, “Banyak nabi palsu akan muncul dan menyesatkan banyak orang.“ Juga dalam 2Pet. 2:1, “Sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah umat Allah, demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan, bahkan mereka akan menyangkal Penguasa yang telah menebus mereka dan dengan jalan demikian segera mendatangkan kebinasaan atas diri mereka.“
Mengapa SY dikatakan ajaran sesat? Karena mereka mengajarkan ajaran lain yang tidak sesuai dengan ajaran Firman Tuhan yang dinyatakan di dalam Alkitab.
Ajaran Kristen (Pengakuan Iman Rasuli)
Ajaran SY
Mengakui Allah Tritunggal
Tidak menerima ketritunggalan Allah
Yesus adalah Allah yang Mahakuasa, bukan Ciptaan
Yesus adalah suatu allah, allah ‘kecil‘ dan diciptakan
Roh Kudus adalah pribadi Allah (berkehendak, berkemauan, berketetapan)
Roh Kudus adalah tenaga aktif Allah
Ada Penghukuman Kekal
Tidak ada penghukuman kekal

Beberapa sikap dan perilaku SY yang berbeda dengan Kekristenan:
·         Vaksinasi adalah pelanggaran langsung terhadap perjanjian kekal yang Allah buat dengan Nuh setelah air bah (Golden Age, 2/4/1931, h.293)
·         SY menganggap semua transplantasi organ sebagai kanibalisme, karena itu tidak dapat diterima (Awake, 6/8/1968, h.21)
·         Menolak transfusi darah karena perintah tidak makan darah (Kis. 15:29) harus ditaati semua Israel rohani sebagai representasi kehendak ilahi (WT, 4/15/1909, h. 4374)
·         SY menolak berpartisipasi dalam upacara bendera karena itu dianggap penyembahan berhala (Awake, 9/8/1971, h.14)
Kita n bisa mengenali SY dari ajaran mereka ataupun sikap/perilaku mereka yang berbeda karena pemahaman yang salah tentang kebenaran.

Renungkan!
Keberadaan ajaran sesat di sekitar kita membuat kita perlu berjaga-jaga. Bukan hanya menjaga diri tetapi juga keluarga kita, pasangan dan anak-anak kita. Sedini mungkin kita mendeteksi keberadaan ajaran sesat, membuat kita bisa menangani sedini mungkin dengan tepat dan benar. Jangan abaikan jikalau anggota jemaat atau anggota keluarga kita mempertanyakan kebenaran-kebenaran dasar Kristiani, mungkin di tempat bekerja atau di kampus atau di tempat-tempat nongkrong mereka berjumpa dengan SY yang mencoba mempengaruhi mereka. Kalau mengunjungi rekan atau kerabat dan mendapati literatur SY (seperti majalah sedarlah, menara pengawal), tindak lanjuti itu, karena pasti ia pernah bertemu dengan orang-orang SY. Jangan pernah abaikan itu.

Sebuah Dialog Tukang Becak dengan Rasul Paulus (Responsum: Seputar Penggunaan Bahasa Roh)

Alkisah, seorang tukang becak yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar, mengalami petualangan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan. Meski petualangan ini memuaskan rasa ingin tahunya, namun petualangan ini tidak membawanya kembali ke tempat asalnya. Ia terus berpetualang dan berpetualang lagi. Andai saja ia membaca surat yang ditawarkan padanya, tentu ia terhindar dari petualangan tanpa henti itu.

Awal Petualangan
Tukang becak istirahat menunggu penumpang

Petualangannya diawali ketika suatu siang ia mengantarkan dua orang ibu Kristen, yang biasa menumpangi becaknya, sehabis bergereja. Kedua ibu tersebut merupakan sahabatan sejak kecil. Persahabatan yang erat ini disokong oleh berbagai kesamaan di antara mereka berdua. Tinggal di kompleks perumahan yang sama, sekolah yang sama, dari TK sampai PT, jumlah suami dan anak-anak yang sama. Satu saja perbedaan, mereka berbakti di gereja yang berbeda. Tak jelas bagi tukang becak ini apa perbedaan kedua gereja ini, yang ia tahu, gereja yang satu berulang kali riuh oleh tepuk tangan, sedang yang lain adem ayamdengan lagu-lagu hymnalnya.

Setelah cukup lama mengayuh, si tukang becak merasakan aura pembicaraan yang berbeda dari biasanya antara kedua penumpangnya. Jikalau minggu-minggu sebelumnya mereka berbicara dengan hangat mengenai refleksi dari ibadah yang baru saja mereka ikuti, maka siang itu pembicaraan bernada keras, ngotot, dan penuh dengan bantahan.

 Rupanya pembicaraan siang itu bermuara pada hancurnya persahabatan kedua ibu itu. Kedua ibu tersebut turun dari becak dengan penuh kemarahan satu dengan yang lain. Tidak ada lagi waktu-waktu bersama, tidak ada lagi obrolan hangat di atas becak, dan tentu saja, bagi tukang becak ini, tidak ada lagi lima belas rupiah setiap minggunya. Dan itulah terakhir kalinya si tukang becak melihat kedua ibu itu bersama-sama.

Kenyataan ini sangat mengusik rasa ingin tahu si tukang becak. Mengapa percakapan siang itu memanas dan menghancurkan relasi persahabatan kedua ibu itu, dan bahkan, tentu saja pada akhirnya, mengurangi pendapatan rutinnya? Ketika ia mencoba mengingat-ingat pembicaraan mereka, ia ingat satu frasa yang mereka ulangi, yaitu “bahasa roh”. Apa itu bahasa roh? Mengapa bahasa roh membuat orang-orang Kristen itu bertikai dan berselisih tajam? Dan sekali lagi, tentu saja, mengapa bahasa roh mengurangi pendapatan si tukang becak?


Perjalanan melalui Mesin Waktu

            Karena dikendalikan oleh rasa ingin tahu yang semakin menggila, akhirnya si tukang becak memutuskan untuk mencari petunjuk ilahi demi memperoleh jawaban atas semua pertanyaan yang memenuhi pikirannya. Dan ia yakin bahwa Tuhan orang Kristenlah yang bertanggung jawab memuaskan keingintahuannya itu.

            Pada malam itu juga, berdoalah tukang becak ini kepada Tuhan orang Kristen dan memohonkan petunjuk. Tuhan memberinya dua pilihan: membaca sebuah surat berisi jawaban pertanyaannya atau berpetualang langsung mencari jawaban itu. Ia pun memilih pilihan kedua yang baginya lebih menantang.

Mesin waktu dalam film "The Machine Time,"
Warner Bros & Dreamworks
            
Karena tukang becak ini memilih pilihan kedua, maka Tuhan memaparkan kepadanya apa yang harus dilakukannya. Ia diminta untuk pergi ke Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PP IPTEK) yang ada di Taman Mini Indonesia Indah. Di PP IPTEK sedang diadakan pameran sebuah mesin waktu ciptaan Dr. Alexander Hartdegen pada 1903. Ia harus menggunakan mesin waktu itu untuk mencari seorang bernama rasul Paulus di tahun 55 masehi.

             Keesokan harinya, ia bangun dan menuju PP IPTEK, tempat seperti yang dinyatakan Tuhan kepadanya. Setibanya di sana, ia menuju ruang tempat pameran mesin waktu. Ketika ia melihat tak ada lagi orang di sekitar mesin itu, ia bergegas menuju mesin itu. Ia duduk dan mulai mengatur tahun ke 3 Juni tahun 55 masehi. Ia lalu mendorong tuas pengaktif mesin itu, dan wuss... Atas penentuan Tuhan, sampailah tukang becak itu di sebuah kota bernama Efesus pada 3 Juni 55.

Dialog dengan Rasul Paulus

            Dalam suasana dan tempat yang asing, tukang becak itu memutuskan untuk turun dari mesin waktu itu. Baru saja ia menginjakkan kakinya di tanah Efesus, ia menyadari bahwa tidak jauh dari tempatnya, telah berkumpul banyak orang sambil mendengar seorang berpidato kepada mereka semua. Ia mendekati kerumunan orang itu dan ikut mendengar sang orator. Setelah cukup lama mendengar, ia akhirnya tahu bahwa orang yang berbicara itu adalah rasul Paulus, orang yang harus dicarinya sesuai petunjuk Tuhan.
Paulus berhotbah

             Setelah sang rasul usai berpidato dan kerumunan massa mulai mencair, tukang becak ini mendekati rasul Paulus dan menyapanya. Rasul Paulus sedikit terkaget-kaget melihat pakaian dari orang yang datang dan menyapanya itu. Memang pakaian tukang becak ini sangat berbeda dengan pakaian rasul Paulus. Jika Paulus memakai jubah panjang sampai ke kaki, maka tukang becak itu memakai jeans usang dan kaos oblong bersablon Slank.

            Tanpa menyia-nyiakan kesempatan ini, tukang becak ini segera menghujani rasul Paulus dengan pertanyaan-pertanyaan. Berikut dialog mereka,
TB       : bapak Paulus, apakah anda tahu informasi mengenai bahasa roh?
RP       : tentu saja, saya bahkan baru saja mengirim sebuah surat kepada jemaat di Korintus, yang isinya di antaranya mengenai bahasa roh.

MENGUCAP SYUKUR

Tema renungan kali ini adalah “mengucap syukur.”  Sebelum membaca lebih lanjut renungan ini, cobalah mencatat 5 hal yang anda syukuri dalam satu minggu yang anda sudah lewati. Misalnya, bersyukur perjalanan yang anda lalui, bersyukur makanan hari ini, bersyukur kesehatan dan lain-lain.

sumber: google.com
Makna “mengucap syukur”
                Apa sebenarnya arti “mengucap syukur? Dalam KBBI, kata “syukur” berarti rasa terima kasih kepada Allah, ungkapan pernyataan lega, beruntung ataupun senang akan hal tertentu. Jadi “mengucap syukur” berarti mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada Allah. “mengucap syukur” berarti menyatakan perasaan lega, beruntung atau senang akan suatu hal.
·         Don Moen mengungkapkan rasa terima kasih kepada Allah, The Holy One, dalam lagunya: “Give Thanks”
Give thanks with a grateful heart
Give thanks to the Holy One
Give thanks because He's given Jesus Christ, His Son
And now let the weak say, "I am strong"
Let the poor say, "I am rich"
Because of what the Lord has done for us
·         Jokowi-Basuki menyatakan syukur  karena pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah DKI Jakarta, dapat berjalan dengan tertib, aman, lancar, jujur, bersih dan tidak ada masalah (Vivanews.com).

Itulah contoh orang-orang yang mengungkapkan rasa terima kasih kepada Allah atau rasa senang dan lega karena suatu pencapaian tertentu.



Bilamana seorang bersyukur?
                Kapan seseorang seringkali mengucap syukur? Beberapa bagian dalam Alkitab dimana umat Tuhan mengucap syukur:
·         Kej. 29:35  “Mengandung pulalah ia, lalu melahirkan seorang anak laki-laki, maka ia berkata: "Sekali ini aku akan bersyukur kepada TUHAN." Itulah sebabnya ia menamai anak itu Yehuda. Sesudah itu ia tidak melahirkan lagi.” Di bagian ini Lea bersyukur karena ia melahirkan seorang anak lagi. Dan menamakan anak itu Yehuda, yang berarti “bersyukur.”
·         Neh. 12:27  “Pada pentahbisan tembok Yerusalem orang-orang Lewi dipanggil dari segala tempat mereka dan dibawa ke Yerusalem untuk mengadakan pentahbisan yang meriah dengan ucapan syukur dan kidung, dengan ceracap, gambus dan kecapi.” Di ayat ini dinyatakan bahwa orang-orang Lewi dipanggil untuk mempersiapkan peresmian tembok Yerusalem yang rampung dibangun di bawah pimpinan Nehemia.
·         Mzm. 107:1  “Bersyukurlah kepada TUHAN sebab Ia baik! Ayat ini menyatakan ajakan untuk bersyukur setelah menyaksikan karya Tuhan dalam hidup umat. Jika kita membaca keseluruhan Mzm. 107 ini, ada banyak karya Tuhan, diantaranya: Ada orang yang tercerai-berai, dikumpulkan; Ada orang yang haus dan lapar dipuaskan; ada orang yang dibebaskan dari penjara; Ada orang sakit yang disembuhkan; Ada orang yang kapalnya hancur di tengah laut, dituntun hingga tiba dengan selamat di pelabuhan, pertanian dan peternakan diberi hasil berlimpah; Ada orang miskin yang dilindungi dari penindasan. 

Panggilan Hidup (Yeremia 1:4-16)

            Segala sesuatu yang dibuat pasti memiliki tujuan pembuatan. Misalnya sebuah pena dibuat untuk keperluan menulis. Memang pena bisa saja dipakai sebagai selipan pembatas halaman buku yang dibaca, namun sesungguhnya bukan itu tujuan pembuatan sebuah pena. Satu yang pasti pena tidak tepat digunakan sebagai alat pancing. Ada yang membagi kategori penggunaan sesuatu berdasarkan tujuan kegunaannya: usefull, misuse, useless. Pena yang dipakai untuk keperluan menulis termasuk kategori usefull. Pena yang dipakai sebagai selipan pembatas buku termasuk kategori missuse. Sedangkan penggunaan pena sebagai alat pancing adalah useless.
            Untuk sebuah benda sederhana, seperti pena, dibuat dengan suatu tujuan tertentu, apalagi manusia yang diciptakan oleh Allah. Tentulah manusia dibuat untuk suatu tujuan tertentu. Seseorang yang memahami tujuan penciptaannya dan maksud Allah dalam hidupnya, ia adalah ciptaan yang usefull. Sebaliknya bisa termasuk misuse, ataupun useless. Kita rindu menjadi ciptaan yang usefull, karena itu penting bagi kita menggumulkan dengan serius tujuan penciptaan kita di dunia ini.
            Kitab Yeremia, khususnya 1:4-16, memberikan gambaran tentang bagaimana panggilan Allah itu dinyatakan, sekaligus menunjukkan bagaimana kita mengetahui panggilan Allah dalam hidup kita.

I.            Rencana Allah dalam kehidupan kita selalu dimulai dari Allah: merencanakan, memanggil, memperlengkapi dan mengutus.
            Jika kita memperhatikan bagian yang kita baca, Rencana Allah untuk kehidupan Yeremia dimulai dari Allah. Ayat 4 menyatakan, “Firman Tuhan datang kepadaku,” Kalimat ini menunjukkan dari mana rencana ini bermula. Allah menyatakan rencanaNya kepada Yeremia.
            Selanjutnya ayat 5 menunjukkan bahwa rencana ini telah ada jauh sebelum Yeremia lahir. Dari semula Allah telah merencanakan bagaimana Yeremia seharusnya menjalani kehidupannya kelak. Ia dirancang untuk menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. Ini suatu rencana yang besar, suatu rencana yang agung, suatu rencana yang telah lama disiapkan.
            Bagaimana respon Yeremia atas rencana Allah ini? Yeremia berkata, “sesungguhnya aku tidak pandai bicara, sebab aku ini masih muda.” Diperkirakan usia Yeremia pada waktu itu kurang lebih 20 tahun. Dan jika kata-kata Yeremia ini dicermati dalam konteksnya, maka bisa berarti: Saya tidak belajar teologia di sekolah nabi, sehingga tidak punya kemampuan berbicara seperti nabi-nabi. Usia saya baru 20 tahun, orang didengar omongannya dalam budaya Yahudi hanya orang di atas 30 tahun. Saya bisa dilempari jika berbicara atas nama Tuhan. Bagaimana mungkin saya bisa melakukan rencana Allah yang besar itu?”
            Respon Yeremia ini bersifat manusiawi. Ketika kepada seseorang dinyatakan rencana Allah yang agung dan besar, yang telah ada sejak semula, maka seseorang segera melihat keterbatasan dirinya. Yeremia baru berumur 20 tahun sudah dipanggil menjadi nabi bagi bangsa-bangsa. Ia masih kecil tetapi ditetapkan dalam rencana Tuhan untuk melayani bangsa-bangsa.
Rencana Allah untuk kita sudah ada sejak semula. Ini suatu rencana besar karena menyangkut Kerajaan Allah. Jika Tuhan menyatakan rencanaNya bagi kita, maka respon kita, bisa demikian: Tuhan saya ini sangat berdosa/bukan seorang rohaniwan, tidak mungkin layak untuk rencanaMu; Tuhan keluarga saya hancur, orangtua saya bisa marah, jika saya mengikuti rencana Tuhan; Tuhan, saya ini pemalu dan tidak bisa ngomong depan umum; Tuhan, saya ini terlalu muda atau saya terlanjur sudah tua: tidak mungkin cocok dengan rencana Tuhan; saya tidak punya bakat pemimpin. Dan berbagai alasan yang lain. Ini suatu respons yang manusiawi. Tetapi bagaimana Allah menyelesaikan kegelisahan manusiawi ini?
            Jawaban Allah kepada Yeremia tertulis di ayat 7-8, perhatikan kata-kata “jangan,”“tetapi” atau “sebab.”]. Jawaban ini mengajak Yeremia mengubah fokus pada kelemahan diri kepada fokus akan Allah dan kuasa-Nya. Allah seakan-akan berkata: “jangan kuatirkan kelemahan dan keterbatasanmu, tetapi fokus pada rencanaKu dan andalkan penyertaanKu.”
             Jawaban Allah ini kemudian diikuti dengan tindakan-Nya memperlengkapi dan mengutus Yeremia. Di ayat 9 dinyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan dan menjamah mulut Yeremia. Allah memperlengkapi Yeremia dengan “menaruh perkataan-perkataan” artinya Yeremia diberikan kemampuan mengatakan firman Allah yang diterimanya kepada bangsa-bangsa. Di sini Allah memperlengkapi Yeremia. Allah memberikan hikmat kata-kata kepada Yeremia sehingga kendatipun ia muda, ia mampu berbicara dan diberi otoritas dari Allah.
            Selanjutnya di ayat 10 Allah mengutus Yeremia. [baca ayat 10, “mengangkat ... untuk”]. Ia dipanggil untuk mencabut, merobohkan, membinasakan dan meruntuhkan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Ia ditetapkan untuk menanamkan firman Tuhan dan membangun bangsa-bangsa dengan firman Tuhan.

Pelajaran bagi Kita
Dalam bagian pertama ini kita melihat bagaimana rencana Allah dalam kehidupan Yeremia, dimulai dari Allah sendiri. Allah yang merencanakan, Allah yang memanggil, Allah yang memperlengkapi dan Allah yang mengutusnya.
Erik Rees, penulis buku Finding and Fulfilling Your Unique Purpose for Life, menyatakan Allah tidak pernah menciptakan apapun tanpa maksud. Ia mendisain kita secara spesifik dalam menggenapi rencanaNya untuk menyatakan kerajaan Allah di dunia. Kunci untuk memahami rencana Allah dengan penciptaan kita adalah look to God. Kita seharusnya bertanya kepada Allah bagaimana kita harus menjalani hidup ini.
            Rencana Allah dalam hidup kita selalu dimulai dari Allah. Seorang yang tidak look to God tidak akan mungkin menemukan maksud keberadaannya di dunia ini. Dan seorang yang tidak menemukan maksud keberadaannya di dunia ini, kata Tom Paterson, adalah seorang yang tidak sungguh-sungguh hidup dan seorang mengecewakan hati Tuhan.
            Rencana Allah juga selalu diikuti oleh tindakanNya untuk memperlengkapi kita. Kita perlu look in us untuk menemukan perlengkapan yang Allah lakukan dalam diri kita. Rick Warren merumuskan bagaimana Allah memperlengkapi kita untuk melakukan rencanaNya melalui, “SHAPE.” Spiritual Gift, Heart, Abilities, Personality, Experiences [Karunia Rohani, Beban hati, Kemampuan/skill, Kepribadian/Temperamen, Pengalaman].
Allah punya rencana dalam hidup kita. Kita lebih berharga sebuah pena. Allah menetapkan kita dengan satu tujuan tertentu bagi kerajaanNya. Kita bisa saja hidup, kita bisa saja tertawa, bersenang-senang, melakukan ini itu, kuliah atau kerja. Tetapi yang jadi pertanyaan penting bagi kita sebagai orang Kristen adalah: apakah kehidupan kita berguna bagi kerajaan Allah?
Bagaimana mempunyai hidup yang berguna bagi kerajaan Allah? Dimulai dengan look to God. Seorang yang memahami rencana Allah atas hidupnya adalah seorang yang dekat pada Tuhan. Bukan hanya dekat, tetapi bertanya pada Tuhan akan tujuan penciptaannya. Selanjutnya look in us untuk menemukan perlengkapan-perlengkapan yang telah Allah kerjakan dalam diri kita. Dua poin menolong kita melihat tujuan khusus Allah untuk hidup kita, atau yang biasa disebut panggilan hidup kita.

Kesetiaan kepada Tuhan (Daniel 3:1-18)

            Bagian Alkitab ini menceritakan tentang kesetiaan tiga anak Tuhan (Sadrakh, Mesakh dan Abednego) pada masa dominasi Babilonia. Kisah ketiga orang ini mengajarkan kita bahwa kesetiaan kepada Tuhan merupakan harga mati bagi seorang yang menyembah Tuhan. Demi kesetiaan kepada Tuhan, mereka berjuang melewati kerikil-kerikil penghambat. Mereka berani tampil beda di tengah-tengah komunitas penyembah berhala. Demi kesetiaan kepada kebenaran Allah mereka berani membayar berapapun harganya, bahkan siap menyongsong maut sekalipun. Bagaimanakah ujian bagi kesetiaan mereka?



I. Ujian sebagai kaum minoritas di tengah-tengah kaum mayoritas.
            Ujian kesetiaan tiga pelayan ini pertama-tama adalah keberadaan mereka – sebagai kaum minoritas – di tengah-tengah mayoritas penyembah berhala. Penekanan faktor kuantitas (mayoritas) memang sangat jelas dalam perikop ini. Ayat 2-7 menggambarkan kaum mayoritas yang menyembah patung emas raja Nebukadnezar: “para wakil raja, para penguasa, para bupati, para penasihat negara, para bendahara, para hakim, para ahli hukum dan semua kepala daerah ... orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa.” Sedangkan pada ayat 12 dituliskan bahwa orang yang tidak mau menyembah patung itu hanya beberapa orang Yahudi.
            Bayangkan mereka tidak mau tunduk menyembah patung itu, sementara semua orang menyembah berhala itu. Lebih menegangkan lagi ketika mereka diperhadapkan kepada raja Nebukadnezar. Raja ini yang memberikan mereka jabatan tinggi di Babel. Dan mereka harus menetang orang yang memberikan mereka jabatan tersebut. Mereka berdiri di hadapan semua orang dengan sorot mata tajam yang menantikan tindakan mereka. Semua orang di sekitar mereka serentak menyembah patung itu dan berharap tiga orang juga ikut menyembah, namun kenyataannya berbeda. Mereka memilih menyembah Tuhan dan tidak ikut menyembah berhala.
            Tidak jarang anak-anak Tuhan akhirnya meninggalkan kesetiaan mereka kepada Allah karena tekanan mayoritas sekitar mereka ataupun tekanan dari otoritas di atas mereka. Kita diingatkan untuk tetap setia kendatipun mayoritas orang di sekitar kita ataupun atasan kita menghendaki kita meninggalkan jalan kesetiaan kepada Allah.

II. Ujian Penderitaan.
            Ujian kesetiaan yang kedua bagi Sadrakh, Mesakh dan Abednego adalah penderitaan. Penderitaan berupa perapian yang menyala-nyala menanti Sadrakh, Mesakh dan Abednego karena mereka menolak menyembah patung emas raja Nebukadnezar (ay. 6,11,15). Perapian yang menyala-nyala ini seperti kubur yang ternganga menyambut diri mereka.
Apakah kesetiaan mereka hangus oleh ancaman maut dari perapian yang menyala-nyala itu? Alkitab mencatat justru ketika ancaman datang, komitmen kesetiaan mereka dikumandangkan (ay. 16-18). Kesetiaan mereka kepada Allah tidak akan tergoyahkan oleh maut sekalipun. Kesetiaan yang kokoh dari Sadrakh, Mesakh dan Abednego tergambar jelas dari dua kalimat komitmen mereka, “Kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” 
            Penderitaan memang adalah tantangan terberat dari sebuah kesetiaan. Seorang anak Tuhan dapat saja setia tatkala tiada penderitaan, namun ketika diperhadapkan pada penderitaan, kesetiaannya pupus. Seorang anak Tuhan dipanggil untuk siap menderita demi kesetiaannya kepada Allah. Kita diingatkan oleh kisah ini untuk siap dan rela menderita bilamana itu diperlukan demi tetap di jalan kesetiaan. Amin.
           
download powerpoint disini

Siapa yang akan terpilih? (ISam. 16:1-13)

Pendahuluan
Jika Allah hari ini ingin memilih salah satu dari kita untuk suatu tugas penting yang telah disiapkan-Nya, maka kira-kira siapakah yang akan terpilih dari antara kita? Apakah Ia akan memilih orang yang mempunyai pengetahuan dan skill-nya paling tinggi, atau orang yang paling rajin ke gereja, atau orang yang paling banyak teman, atau mungkin yang paling besar penghasilannya, atau lainnya? Orang seperti apa yang akan dipilih-Nya?
Mungkin kita tidak pernah menyangka orang seperti apa yang akan dipilih Allah.  Kita terpana karena bukan diri kita yang Allah pilih, meski kita sangat berharap. Atau bahkan sebaliknya kita terkesima karena diri kita yang terpilih, meski sebelumnya tak pernah terlintas akan menjadi orang pilihan itu.

Pemilihan Raja Israel yang Tak Terduga
Dalam 1Sam. 16:1-13, Allah hendak mengangkat seorang raja yang dapat melakukan hal yang berkenan bagiNya. Kita tahu, Saul gagal menjadi raja yang Allah kehendaki. Karena itu, Allah ingin menggantinya dan rupanya telah menemukan seorang yang tepat untuk tugas itu. Allah lalu mengirim Samuel untuk mengurapi calon raja tersebut. Menariknya, semua orang yang disebutkan dalam nukilan ini, tidak ada yang menyadari siapa pilihan Allah itu.
Allah memerintahkan Samuel menuju ke Betlehem (tepatnya, di Efrata) untuk mengurapi seorang raja di sana. Dalam perjalanan ke sana, nampaknya pikiran Samuel dihinggapi pertanyaan: “mengapa ke Betlehem Efrata?” Orang pada masa itu tahu bahwa kaum yang tinggal di sana adalah kaum yang terkecil dari suku Yehuda (bdk. Mikha 5:1). Jelas bahwa Allah mengarahkan Samuel ke tempat kaum terkecil untuk mengurapi orang terbesar di Israel. Ini merupakan suatu hal yang diluar dugaan.
Dari kaum yang terkecil ini, Allah menunjuk satu keluarga, yaitu keluarga Isai. Apakah keluarga Isai juga menyadari siapa orang yang akan Allah pilih? Rupanya tidak!. Keluarga Isai tidak satupun menyadari siapa orang yang Allah pilih itu.
Isai hanya menyiapkan ketujuh anaknya laki-laki, meski ia punya delapan. Tidak pernah terlintas dalam pikiran Isai bahwa Daud mungkin orang pilihan itu. Sekali lagi, tidak pernah terlintas. Karena itu, Daud disuruh menggembalakan domba, ketika ada peristiwa penting di keluarganya itu.
Apakah ketujuh anak Isai menyadarinya? Semua anak menduga bahwa yang terpilih adalah Eliab. Hal ini wajar karena Eliab adalah anak sulung dan juga seorang prajurit berpengalaman. Bahkan, Samuel sendiri berpikir bahwa Eliab-lah orang yang dipilih Allah itu.

Ketika Eliab ditolak Allah, pandangan mata orang pada waktu itu tertuju kepada Abinadab. Ketika Abinadab ditolak, pandangan tertuju kepada Syama. Demikian seterusnya, dan tidak ada satupun dari ketujuh anak ini yang Allah pilih. The Best Seven telah ditolak Allah. Tujuh anak yang terbaik yang dipunyai Isai telah ditolak Allah.
Dan akhirnya, Daudlah yang terpilih sebagai raja yang diurapi Allah. Allah memilih Daud sebagai orang yang terkecil di keluarga Isai, yang merupakan kaum yang terkecil di Yehuda. Daud adalah yang terkecil dari yang terkecil, tetapi dipilih Allah.
Tuhan Melihat Hati
Meskipun ia yang terkecil dari yang terkecil, namun ia memiliki hati yang lebih besar dari semuanya. Hati Daud inilah yang Allah lihat, sehingga Ia memilih Daud.  Memang, hati yang besar akan menuntun seseorang melakukan hal-hal yang besar. Tetapi bukan berarti semua orang besar serta merta memiliki hati yang besar.

Bagaimanakah kebesaran hati Daud sehingga Allah berkenan memilihnya? Ada paling tidak tiga peristiwa penting di mana Daud menunjukkan kebesaran hatinya.

1. I Samuel 17:45-47                         
Kisah ini menceritakan pertemuan antara Daud dan Goliat di medan pertempuran. Goliat datang sebagai seorang yang mengandalkan kemampuan perang dan persenjataannya dalam duel ini. Tetapi Daud datang dengan mengandalkan Allah. Daud tidak mengandalkan dirinya dan senjatanya, ia hanya mengandalkan Allah.
Ini bukti kebesaran hati Daud. Ia adalah orang yang sangat mengandalkan Allah dalam pergumulan hidupnya. Di hatinya, ada Allah karena itu ia tidak gentar menghadapi tantangan apapun.
Kebesaran hati terlihat dari seberapa besar seseorang mengandalkan Allah dalam menghadapi tantangan hidupnya.  Bukan mengandalkan kekuatan, keuangan, atau kekeluargaan. Hanya mengandalkan Allah.

2. I Samuel 24:3-8
Kisah ini menceritakan tentang Daud yang dikejar-kejar oleh Saul untuk dibunuh. Saul ingin membunuh Daud karena dianggap mengancam kepemimpinannya. Suatu kali, Daud bersembunyi dalam gua, yang tanpa sadar dikunjungi oleh Saul untuk buang hajat. Ada kesempatan Daud untuk membunuh Saul dalam gua itu, tetapi ia tidak lakukan itu. Daud yakin bahwa ia dipilih Allah menjadi raja, tetapi ia tidak mau menggunakan cara yang melanggar firman Allah untuk memperoleh jabatan raja itu.
Kisah ini  adalah sebuah kisah yang kontras: antara Saul dan Daud. Saul berusaha membunuh Daud, namun tidak mempuyai kesempatan itu. Sedangkan Daud mempunyai kesempatan itu, namun tidak membunuh Saul. Ini bukti kebesaran hati Daud. Ia menggunakan cara yang benar untuk sampai pada kedudukan raja.

Kebesaran hati terlihat dari cara-cara hidup kita. Seorang yang berhati besar menggunakan cara-cara yang benar untuk sampai pada tujuannya.

3. Mazmur 51:1-5 
Latar belakang dari penulisan mazmur ini adalah peristiwa perselingkuhan yang diikuti dengan pembunuhan berrencana yang dilakukan oleh Daud. Penulisan Mazmur ini menggambarkan betapa sedih dan menyesalnya Daud akan dosa yang ia lakukan. Mazmur ini adalah gambaran hati Daud yang penuh dengan pertobatan.
Daud adalah manusia yang tidak lepas dari kesalahan. Dan tidak ada satu orangpun yang bebas dari kesalahan. Kebesaran hati seseorang bukan terlihat dari ada tidaknya dosa yang dilakukannya, melainkan keberanian dan ketulusannya mengakui dosanya di hadapan Tuhan.

Penutup  
Jika Allah hari ini ingin memilih salah satu dari kita untuk suatu tugas penting yang telah disiapkan-Nya, maka Ia akan mencari seorang yang berhati besar. Allah akan memakai kita karena kebesaran hati kita, kendatipun dalam pandangan manusia kita adalah yang terkecil dari yang terkecil. Hati yang besar adalah hati yang mengandalkan Allah, hati yang berusaha melakukan sesuatu yang dengan cara-cara yang benar dan hati yang rela ditegur dan bertobat ketika melakukan kesalahan.  

Download powerpoint disini

Support Blog

Support blog ini dengan subscribe Channel Youtube Victor Sumua Sanga dengan klik tombol di bawah: